Kilastimur.com – Makassar – Suasana Kelurahan Melayu memanas pada Kamis, 17 April 2025, ketika ratusan warga mendatangi Kantor Lurah. Mereka menyuarakan protes keras terhadap usaha bengkel di Jalan Muna yang berjarak sangat dekat dengan lingkungan sekolah SDN Melayu Muhammadiya
Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa spontan, melainkan puncak dari keresahan warga yang telah lama bergulir. Mereka menilai kehadiran bengkel tersebut tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga berpotensi membahayakan keselamatan para siswa.
Dugaan Pelanggaran dan Kurangnya Sosialisasi
Warga menduga pengusaha bengkel dilakukan tanpa transparansi yang memadai. Banyak yang mengaku tidak mengetahui proyek tersebut hingga kegiatan usaha bengkel mulai berjalan. Mereka merasa aspirasi dan kekhawatiran selama ini diabaikan.
“Kami tidak pernah diberi tahu sebelumnya. Baru sadar ketika semua mobil rusak mulai masuk berkumpul. Kami sudah coba bicara baik-baik, tapi tidak ada tanggapan.” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Risiko di Depan Mata
Bukan tanpa alasan warga turun tangan. Kedekatan bengkel dengan sekolah SDN Melayu Muhammadiyamenimbulkan sejumlah risiko serius: polusi suara, kemacetan lalu lintas, serta kemungkinan paparan bahan berbahaya. Jalan Muna sendiri dikenal cukup padat, dan keberadaan bengkel dikhawatirkan memperburuk kondisi lalu lintas, menyulitkan mobilitas siswa yang berjalan kaki atau bersepeda.
Tanggapan Lurah dan Klarifikasi Pemilik Bengkel
Menanggapi gelombang protes, Lurah Kelurahan Melayu menyatakan akan segera menindaklanjuti keluhan warga. Ia berjanji melakukan peninjauan ulang terhadap perizinan dan memastikan bahwa semua proses pengusaha bengkel sesuai aturan yang berlaku.
Namun, Lurah juga menegaskan bahwa kewenangannya terbatas jika izin dikeluarkan oleh otoritas tingkat kota atau provinsi.
Di sisi lain, pemilik bengkel, Hamka, angkat suara. Ia membela keberadaan bengkelnya yang telah berdiri selama 15 tahun dan mengklaim bahwa pada awal Usaha bengkel, dirinya telah mengantongi izin dan persetujuan dari warga dan kepala sekolah Swasta Muhammadiya saat itu.
“Waktu itu saya malah diminta menutup pagar oleh kepala sekolah Swasta Muhammadiya, agar siswa tidak keluar masuk lewat bengkel. Semua awalnya berjalan baik. Saya ingin bermusyawarah, bukan bermusuhan,” jelas Hamka.
Mencari Titik Tengah
Peristiwa ini mencerminkan pentingnya komunikasi yang terbuka antara warga, pemerintah, dan pelaku usaha. Pengusaha bengkel tidak boleh mengorbankan keselamatan dan kenyamanan masyarakat, khususnya anak-anak yang menuntut ilmu.
Kini semua pihak menunggu langkah konkret dari pemerintah setempat untuk menengahi persoalan ini—agar tidak hanya hukum yang ditegakkan, tetapi juga kepercayaan publik yang dipulihkan.
Editor: Andhis Hamzah