Kilastimur.com – Makassar — Dinding lembaga pemasyarakatan tidak hanya dimaksudkan untuk menampung narapidana, tetapi juga dimaksudkan untuk memisahkan dunia kriminal dan masyarakat yang taat hukum. Namun, ketika dugaan kegiatan bisnis ilegal muncul di balik dinding tersebut, dan terutama ketika kegiatan tersebut diduga mengorbankan warga biasa, fondasi keadilan itu sendiri mulai retak.
Begitu pula dengan kontroversi yang masih berlangsung seputar dugaan transaksi bisnis ilegal di Lembaga Pemasyarakatan Makassar, yang dilaporkan telah membuat seorang pemilik warung makan dalam kesulitan, tanpa ada penyelesaian yang terlihat.
Selama berbulan-bulan, bisik-bisik dan tuduhan telah beredar mengenai keberadaan operasi bisnis yang tidak sah di dalam Lembaga Pemasyarakatan Makassar. Meskipun rinciannya masih belum jelas dan penyelidikan resmi masih berlangsung, tuduhan inti berkisar pada operasi bisnis oleh narapidana, yang diduga dengan persetujuan diam-diam atau bahkan keterlibatan langsung staf lembaga pemasyarakatan. Aktivitas terlarang yang diduga ini dilaporkan berkisar dari penjualan barang dan jasa hingga usaha yang lebih serius, semuanya dilakukan di dalam batas-batas dinding penjara.
Inti dari kontroversi ini adalah nasib seorang pemilik warung makan setempat yang menjalankan usaha kecil di dalam kompleks penjara, yang melayani narapidana, staf, dan pengunjung. Menurut laporan, orang ini, seorang ibu yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjadi korban dugaan kegiatan bisnis ilegal. Sifat pasti dari dugaan viktimisasi tersebut masih menjadi bahan spekulasi, tetapi diyakini melibatkan pemaksaan, persaingan tidak sehat, atau bahkan pemerasan.
Kurangnya informasi yang transparan dan pernyataan resmi telah menciptakan tempat berkembang biaknya rumor dan spekulasi, yang selanjutnya memperparah ketidakpastian dan kecemasan seputar kasus tersebut. Keheningan dari pihak berwenang telah memekakkan telinga, membuat korban merasa ditinggalkan dan kecewa dengan sistem yang seharusnya melindunginya.
“Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diingkari.”
Dugaan kegiatan ilegal ini terhadap pemilik warung makan tersebut sangat menghancurkan. Laporan menunjukkan bahwa ia telah menderita kerugian finansial yang signifikan, tekanan emosional, dan rasa ketidakadilan yang mendalam. Orang ini, yang hanya berusaha mencari nafkah dan menghidupi keluarganya, telah terperangkap dalam sistem yang tampaknya telah mengecewakannya.
Selain kerugian finansial dan emosional yang dialami, kurangnya penyelesaian dalam kasus ini telah menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpastian dalam masyarakat. Pemilik usaha kecil lainnya yang beroperasi di dalam atau di dekat lokasi penjara kini ragu untuk berbicara atau melaporkan kesalahan apa pun, karena takut akan pembalasan dari mereka yang terlibat dalam dugaan kegiatan ilegal tersebut.
Kasus ini menjadi pengingat yang kuat bahwa keadilan haruslah bersifat buta, tidak memihak, dan cepat. Semakin lama bayang-bayang tuduhan ini menghantui Lembaga Pemasyarakatan Makassar, semakin dalam noda pada sistem peradilan Indonesia. Penyelesaian yang cepat dan tegas bukan hanya diinginkan, tetapi juga penting.
Editor: Andhis Hamzah